Minggu, 31 Maret 2019

Ancaman dari Utara

Calon Presiden 02, Prabowo Subianto, dalam acara debat ke-4 Calon Presiden berulang kali mengatakan, militer kita lemah. Sebagai tolok ukur, Prabowo Subianto menghubungkannya dengan anggaran yang dialokasikan untuk pertahanan. Padahal, militer kuat atau lemah itu biasanya dikaitkan dengan persepsi atau potensi ancaman. 
Mungkin Prabowo selalu mempersepsikan bahwa militer yang kuat, itu terkait dengan besaran atau jumlah. Dugaan itu muncul karena pada saat menjabat sebagai Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus), Prabowo Subianto, ia berniat mengembangkan Kopassus menjadi sebuah divisi. Padahal yang namanya pasukan khusus, di mana-mana itu jumlahnya kecil, atau tepatnya, terbatas, karena anggota merupakan yang terbaik dari yang terbaik, the best of the best.
Di masa lalu, ancaman terhadap keamanan Indonesia dipersepsikan datang dari utara. Itu karena ancaman terhadap wilayah ini selalu datang dari utara. Mulai dari Indonesia belum terbentuk, dari Belanda dan kemudian Jepang, kemudian di masa Orde Baru dari China yang komunis. Namun, setelah Perang Dingin berakhir, walaupun ancaman bagi Indonesia masih dipersepsikan datang dari utara, tetapi negaranya sudah tidak jelas lagi.
Pada masa sekarang ini, tidak ada satu pun negara di utara Indonesia yang dianggap berpotensi untuk menyerang Indonesia. Indonesia memang masih memiliki sengketa batas wilayah dengan negara lain, tetapi semua negara itu bersahabat dengan Indonesia, seperti Singapura, Malaysia, Filipina, dan Vietnam. Dengan demikian, sengketa wilayah itu diselesaikan secara damai melalui meja perundingan.  
Namun, ketiadaan musuh, tidak berarti Indonesia tidak memerlukan militer. Persoalannya, berapa besar militer itu akan dibangun. Sebab ada ungkapan dalam bahasa Latin yang menyatakan, ”Si vis pacem, para bellum (Jika mendambakan perdamaian, bersiap-siaplah menghadapi perang).” Itu sebabnya, Swiss dan Swedia, negara netral pada Perang Dunia II dan Perang Dingin memiliki militer yang andal. Meskipun mungkin lemah apabila dibandingkan dengan militer-militer negara Eropa lain.
Pada tanggal 12 November 1988, beberapa hari setelah pensiun dari militer, Menteri Pertahanan dan Keamanan L.B. Moerdani diundang untuk berbicara di depan perwira-perwira menengah Angkatan Bersenjata Singapura di Temasek Club, Singapura. Usai Jenderal (Purn) L.B. Moerdani menyelesaikan ceramahnya tentang The Strategic Situation in the Pacific Region—The Challenges We Face, seorang kolonel berkata, ”Sama seperti Singapura, Indonesia pun mempersepsikan ancaman dari utara. Yang saya ingin tanyakan, apa yang akan dilakukan Indonesia, jika ancaman itu datang dari selatan.” Bukannya menjawab bahwa di selatan Indonesia hanya ada Australia dan Selandia Baru, yang merupakan negara yang bersahabat. L.B. Moerdani secara berseloroh mengatakan, ”Dengar baik-baik, jika Indonesia mendapatkan serangan dari selatan, maka hal pertama yang akan saya lakukan adalah menduduki Singapura, dan saya akan menyerang ke selatan dengan menggunakan persenjataan dan fasilitas militer Singapura. Lumayan kan pilot-pilot Indonesia dapat menggunakan pesawat-pesawat tempur F-16 Fighting Falcon Singapura yang jumlahnya lebih banyak.” Seloroh itu disambut perwira-perwira menengah Singapura dengan standing ovation, tepuk tangan sambil berdiri.   
Akhir-akhir ini, ancaman bagi keamanan Indonesia bukan lagi serangan dari negara lain, akan tetapi terutama menghadapi serangan teroris di dalam negeri. Oleh karena itu diperlukan satuan-satuan pemukul militer kecil yang andal dan tangguh  sehingga mudah dipindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain sesuai dengan keperluan. Perlengkapannya pun modern dan mobile, bisa dibawa ke mana-mana. Selain itu, karena Indonesia merupakan negara kepulauan yang bagian terbesar wilayahnya terdiri dari perairan, memiliki kekuatan laut yang kuat menjadi keharusan untuk mengamankan perairannya. Pengembangan kekuatan itu tidak perlu serta merta atau sekaligus, tetapi didasarkan pada prioritas dan disesuaikan dengan anggaran tersedia.

Jumat, 29 Maret 2019

"Take for Granted"


Dalam kehidupan sehari-hari kita biasa mendengar istilah dalam bahasa Inggris, take for granted. Istilah take for granted dapat diartikan, menganggap bahwa sesuatu itu selalu ada. Misalnya soal cinta atau kepercayaan. Padahal itu perlu diperlihara.
Harian Kompas yang pertama kali terbit pada tanggal 28 Juni 1965. Melalui kerja keras dan integritas pendiri dan wartawannya, harian Kompas berhasil menempatkan diri sebagai salah satu suratkabar yang kredibel (dapat dipercaya), independen, dan netral. Selama lebih dari 50 tahun, harian Kompas tetap mempertahankan reputasinya sebagai suratkabar yang kredibel, independen, dan netral.
Reputasi itu diperoleh lewat isi suratkabar yang senantiasa menyapa pembacanya setiap pagi, kecuali pada tanggal merah di kalender, atau hari libur resmi yang ditetapkan oleh pemerintah. Dan, selama ini, harian Kompas menganggap reputasinya sebagai suratkabar yang kredibel, independen, dan netral itu sebagai sesuatu yang selalu ada, take for granted.
Harian Kompas abai karena menganggap bahwa reputasinya sebagai suratkabar yang kredibel, independen, dan netral itu selalu ada. Padahal, dunia, terutama dunia informasi sudah berubah total. Perkembangan jejaring internet dalam beberapa tahun terakhir demikian pesat sehingga memunculkan berbagai ragam media online dan media sosial. Cara orang memperoleh informasi berbeda, dan cara orang berkomunikasi pun berbeda. Akibatnya, cara memelihara reputasi harian Kompas sebagai suratkabar yang kredibel, independen, dan netral dengan menyapa pembacanya lewat isi suratkabar setiap pagi tampaknya tidak lagi cukup.
Sehingga ketika harian Kompas ”diserang” sebagai memihak calon Presiden 02, Prabowo Subianto. Tidak sedikit pembaca setia harian Kompas yang tiba-tiba seperti disadarkan, dan mulai bertanya-tanya, benarkah hari Kompas masih merupakan suratkabar yang kredibel, independen, dan netral? Banyak pembaca yang secara informal menghubungi wartawan Kompas yang dikenalnya dan meminta penjelasan.
Harian Kompas pun menempuh berbagai upaya dan cara untuk menegaskan kepada para pembacanya bahwa harian Kompas tetap seperti yang dulu, tidak perubahan.   
Kasus yang baru-baru ini dihadapi harian Kompas memperlihatkan bahwa reputasi sebagai suratkabar yang kredibel, independen, dan netral bukanlah sesuatu yang selalu ada, take for granted. Isi suratkabar saja tidaklah cukup, pergerakan jajaran staf redaksinya pun harus selalu dikaitkan dengan reputasinya. Harian Kompas pun perlu memanfaatkan semua saluran yang dimilikinya untuk mengingatkan pembacanya bahwa harian Kompas menjunjung tinggi kredibilitas, independensi, dan netralitas yang dianutnya selama 50 tahun lebih.
Di harian Kompas, keputusan selalu diambil secara tim, secara kolektif. Siapapun yang memimpin redaksi, tidak dapat memutuskan segala sesuatunya sendiri. Segala keputusan diambil secara tim. Dan, itu adalah suatu yang telah dipraktikkan harian Kompas sejak lama.
Dengan adanya perubahan dari cara orang memperoleh informasi, dan cara orang berkomunikasi, harian Kompas pun pun perlu memikirkan cara-cara baru dalam berkomunikasi dengan pembacanya. Tujuannya agar reputasi yang telah dipertahankan selama lebih dari 50 tahun itu tetap terjaga.

Rabu, 27 Maret 2019

"Vox Populi, Vox Dei"


Dalam sistem demokrasi, kita mengenal ungkapan dalam bahasa Latin, Vox populi, vox Dei, yang terjemahannya adalah suara rakyat adalah suara Tuhan. Ungkapan itu menjadi kenyataan setiap kali diadakan pemilihan Presiden yang di Indonesia berlangsung 5 tahun sekali.

Ungkapan itu tidak mengada-ada. Pada setiap kali pemilihan Presiden dilangsungkan, suara rakyatlah yang menentukan siapa di antara calon Presiden akan keluar sebagai pemenang, dan memerintah untuk 5 tahun mendatang. Dengan kata lain, di dalam pemilihan Presiden, suara rakyat seperti sama saktinya dengan suara Tuhan.

Seorang Presiden boleh saja menjadi orang yang paling berkuasa di negeri ini selama 5 tahun. Akan tetapi, pada saat ia mengajukan diri untuk menjadi calon Presiden untuk periode 5 tahun yang kedua, ia tidak dapat menggunakan kekuasaannya untuk memenangkan dirinya. Ia memerlukan suara rakyat untuk membuat dirinya keluar sebagai pemenang.

Tidak heran, jika kedua calon Presiden Indonesia untuk periode 2019-2014, berkampanye habis-habisan untuk mendapatkan raihan suara rakyat yang terbanyak sehingga terpilih sebagai Presiden.

Dalam pemilihan Presiden yang akan berlangsung pada tanggal 17 April 2019, secara teoretis Presiden Joko Widodo, yang akrab disapa Jokowi, memang berada dalam ”posisi yang lebih baik” daripada penantangnya, calon Presiden Prabowo Subianto. Mengapa berada dalam ”posisi yang lebih baik”, karena calon Presiden Jokowi sudah membuktikan diri dengan memerintah selama 5 tahun, dari tahun 2014-2019. Hasil kerjanya nyata bukan sekadar janji. Berbeda dengan calon Presiden Prabowo Subianto yang baru mengutarakan janji.

Akan tetapi, apakah ”posisi yang lebih baik” akan memenangkan calon Presiden Jokowi, tidak ada yang dapat mengetahuinya, apalagi memastikannya. Bisa iya, tetapi bisa juga tidak. Kepastian itu baru didapat setelah pemilihan Presiden dilakukan, dan jumlah suara dihitung.

Namun, menunggu hingga jumlah suara selesai dihitung, dirasakan terlalu lama, untuk itulah diadakanlah survei-survei untuk memperkirakan perolehan raihan suara dari setiap calon Presiden. Dari sekian banyak survei yang ada, sebagian besar memperlihatkan bahwa calon Presiden Jokowi, akan meraih suara yang lebih banyak daripada yang diraih oleh calon Presiden Prabowo Subianto.

Akan tetapi, apakah itu menjamin bahwa calon Presiden Jokowi akan menang? Sulit untuk menjawabnya. Survei-survei itu memang menggunakan metodologi yang memungkinkan pembuat survei memperkirakan raihan suara yang diraih masing-masing calon Presiden. Dan, dalam beberapa kesempatan , perkiraan raihan suara itu memiliki tingkat presisi yang mencengangkan.

Yang tidak boleh dilupakan, survei-survei itu dilakukan pada suatu periode waktu tertentu. Sebab itu, kerap kali disebutkan, jika pemilihan Presiden itu diadakan pada saat survei-survei itu dilakukan maka hasil raihan suara akan serupa dengan hasil survei-survei itu.

Calon Presiden Jokowi berharap agar suasana pada saat pemilihan Presiden itu sama dengan suasana pada saat survei-survei itu dilakukan sehingga ia akan keluar sebagai pemenang. Sebaliknya, calon Presiden Prabowo Subianto berharap agar suasananya berbeda sehingga ia yang akan keluar sebagai pemenang.

Itulah indahnya demokrasi. Pada saat pemilihan Presiden, rakyatlah yang paling berkuasa. Rakyatlah yang sepenuh menentukan siapa yang akan menjadi Presiden untuk periode 2019-2024. Vox populi, vox Dei.