Perlu Langkah Terukur dan Tidak Berlebihan
Dalam sistem pemilihan presiden secara langsung oleh
rakyat, biasanya petahana akan diuntungkan. Oleh karena, presiden petahana
sudah membuktikan kinerjanya, sedangkan calon presiden yang bukan petahana baru
dalam tahap menjual janji. Di Indonesia, pemilihan presiden secara langsung
oleh rakyat, pertama kali dilangsungkan pada tahun 2004. Saat itu, Susilo
Bambang Yudhoyono terpilih sebagai presiden untuk masa 5 tahun, dan ia terpilih
kembali untuk kedua kalinya pada tahun 2009.
Di Amerika Serikat, tiga presiden terakhir, terpilih
kembali ketika maju untuk kedua kalinya. Presiden Bill Clinton memerintah 2
periode, 1993-2001, demikian juga George W Bush (2001-2009) dan Presiden Barack
Obama (2009-2018). Semua contoh itu memperlihatkan bahwa petahana mempunyai
peluang yang besar untuk terpilih kembali, ketika maju untuk kedua kalinya.
Meskipun itu tidak berarti, atau bisa diartikan, bahwa petahana pasti akan
terpilih kembali.
Hitung-hitungan di atas kertas mungkin seperti itu,
”petahana mempunyai peluang yang besar untuk terpilih kembali”. Namun, dalam
kehidupan nyata, keadaannya tidak selalu seperti itu. Petahana bisa saja kalah.
Di Amerika Serikat, hal itu juga pernah terjadi. Pada tahun 1993, Presiden
George HW Bush, ayahanda Presiden George W Bush, maju sebagai petahana
(memerintah dari tahun 1989). Namun, ia dikalahkan oleh Bill Clinton.
Kini, Presiden Joko Widodo yang terpilih sebagai
presiden pada tahun 2014, maju kembali sebagai petahana. Seperti disebutkan di
atas, sebagai petahanan ia memiliki peluang yang lebih besar untuk terpilih
kembali. Namun, agar peluang besar untuk terpilih kembali itu menjadi
kenyataan, Presiden Joko Widodo, yang akrab disapa Presiden Jokowi, harus
memilih strategi yang tepat, langkah terukur, dan tidak boleh bertindak
berlebihan.
Agar efektif, strategi itu harus dikendalikan
sepenuhnya oleh satu orang, dalam hal ini Presiden Jokowi sendiri. Mempercayakan
pengendalian strategi kepada banyak orang hanya akan membuat keadaan jadi
runyam, atau kontra produktif. Apalagi jika mereka setiap kali terpancing untuk
meladeni ”perang pernyataan” yang dilancarkan lawan.
Sebagai presiden, dan juga calon presiden, ia memang
harus merangkul semua orang, tidak boleh diskriminatif. Akan tetapi, seperti
telah diingatkan pada tulisan pada tanggal 17 September 2018, Presiden Jokowi
tidak perlu berupaya keras agar dirinya disukai oleh semua orang. Itu sama
sekali tidak ada gunanya. Sejarah mencatat bahwa tidak pernah ada satu orang
pun, bahkan satu manusia pun, di Bumi yang dapat membuat dirinya disukai, atau
disayang, oleh semua orang. Selalu akan ada orang-orang yang tidak suka, yang
secara terus-menerus bersikap memusuhi.
Alangkah baiknya Presiden Jokowi juga fokus pada
orang-orang yang membuat dirinya menang dalam pemilihan presiden secara
langsung oleh rakyat. Pada pemilihan presiden 2014, Jokowi dan Jusuf Kalla
mengalahkan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa, dengan selisih suara lebih dari
8 juta.
Siapa yang dapat membujuknya?
Sama seperti Presiden
Jokowi yang harus menata sikap dan strateginya, Prabowo Subianto pun harus
berbuat hal yang sama, jika ingin menang dalam pemilihan presiden secara
langsung oleh rakyat pada tahun 2019. Untuk bisa menang, Prabowo harus lebih
rendah hati, lebih sabar, dan dapat lebih mengendalikan emosinya.
Karier Prabowo di
militer maju dengan sangat pesat. Sebagai menantu Presiden Soeharto, karier
Prabowo di militer melesat, bagai melaju cepat di jalan tol. Mungkin semua itu
yang membuat Prabowo menjadi cenderung kurang sabar dan emosinya meledak-ledak
apabila apa yang diinginkannya tidak terlaksana. Belum lagi, sebagian besar
hidup Prabowo dihabiskan di militer yang terbiasa hidup dengan garis komando.
Itu menjadikan Prabowo
merasa lebih nyaman berada dengan orang-orang yang dianggapnya sejalan dengan
dia. Mirip slogan propaganda yang dilontarkan oleh Presiden Amerika Serikat George
W Bush, ”You’re either with me or you’re against me (Kamu ikut saya, atau kamu
musuh saya)”.
Padahal dalam upaya menggalang suara lebih banyak agar
bisa menang dalam pemilu, ia harus merangkul semua orang, semua pihak, dan
bukan menunjukkan sikap bermusuhan, apa pun yang menjadi penyebabnya. Mengumbar
emosi dan mengumbar kemarahan bukanlah cara yang baik untuk meraih simpati,
apalagi untuk dapat meraih suara terbanyak.
Namun, pertanyaannya,
siapa yang dapat membujuk Prabowo untuk berubah? Pertanyaan itu membuat ingatan
saya tertarik jauh ke belakang ketika Panglima ABRI Jenderal LB Moerdani
menjadi pembicara di depan Angkatan Bersenjata Singapura di Temasek pada tahun
1988. Pada saat itu, seorang Kolonel harus mengulang kembali pertanyaannya
karena Jenderal LB Moerdani tidak dapat mendengar pertanyaan itu dengan baik.
Melihat hal itu, Kepala Angkatan Bersenjata Singapura Letnan Jenderal Winston
Choo sambil bercanda mengatakan kepada Kolonel itu, ”Jangan kecil hati apabila
kamu harus mengulang kembali pertanyaanmu. Oleh karena, seorang Jenderal itu
biasa memberikan perintah. Ia tidak terbiasa mendengar.” Seluruh yang hadir
tertawa mendengar candaan Winston Choo.
Kalau ingin menggalang suara yang diperlukannya untuk menang
dalam pemilihan presiden secara langsung pada tahun 2019, Prabowo harus
berubah. Itu pasti, tidak ada cara lain. Pertanyaan kembali muncul, siapa yang
dapat membujuknya? Apakah Sandiaga Uno, calon wakil presiden yang
mendampinginya? Pasti tidak, karena dia pun masih harus membumikan dirinya.
Selama ini, ia selalu melayang di atas.Ia tidak pernah memulai sesuatu dari bawah.
1 Komentar:
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda