Rabu, 05 Desember 2018

Perlu Langkah Terukur dan Tidak Berlebihan

Dalam sistem pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat, biasanya petahana akan diuntungkan. Oleh karena, presiden petahana sudah membuktikan kinerjanya, sedangkan calon presiden yang bukan petahana baru dalam tahap menjual janji. Di Indonesia, pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat, pertama kali dilangsungkan pada tahun 2004. Saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono terpilih sebagai presiden untuk masa 5 tahun, dan ia terpilih kembali untuk kedua kalinya pada tahun 2009.
Di Amerika Serikat, tiga presiden terakhir, terpilih kembali ketika maju untuk kedua kalinya. Presiden Bill Clinton memerintah 2 periode, 1993-2001, demikian juga George W Bush (2001-2009) dan Presiden Barack Obama (2009-2018). Semua contoh itu memperlihatkan bahwa petahana mempunyai peluang yang besar untuk terpilih kembali, ketika maju untuk kedua kalinya. Meskipun itu tidak berarti, atau bisa diartikan, bahwa petahana pasti akan terpilih kembali.
Hitung-hitungan di atas kertas mungkin seperti itu, ”petahana mempunyai peluang yang besar untuk terpilih kembali”. Namun, dalam kehidupan nyata, keadaannya tidak selalu seperti itu. Petahana bisa saja kalah. Di Amerika Serikat, hal itu juga pernah terjadi. Pada tahun 1993, Presiden George HW Bush, ayahanda Presiden George W Bush, maju sebagai petahana (memerintah dari tahun 1989). Namun, ia dikalahkan oleh Bill Clinton.
Kini, Presiden Joko Widodo yang terpilih sebagai presiden pada tahun 2014, maju kembali sebagai petahana. Seperti disebutkan di atas, sebagai petahanan ia memiliki peluang yang lebih besar untuk terpilih kembali. Namun, agar peluang besar untuk terpilih kembali itu menjadi kenyataan, Presiden Joko Widodo, yang akrab disapa Presiden Jokowi, harus memilih strategi yang tepat, langkah terukur, dan tidak boleh bertindak berlebihan.
Agar efektif, strategi itu harus dikendalikan sepenuhnya oleh satu orang, dalam hal ini Presiden Jokowi sendiri. Mempercayakan pengendalian strategi kepada banyak orang hanya akan membuat keadaan jadi runyam, atau kontra produktif. Apalagi jika mereka setiap kali terpancing untuk meladeni ”perang pernyataan” yang dilancarkan lawan.
Sebagai presiden, dan juga calon presiden, ia memang harus merangkul semua orang, tidak boleh diskriminatif. Akan tetapi, seperti telah diingatkan pada tulisan pada tanggal 17 September 2018, Presiden Jokowi tidak perlu berupaya keras agar dirinya disukai oleh semua orang. Itu sama sekali tidak ada gunanya. Sejarah mencatat bahwa tidak pernah ada satu orang pun, bahkan satu manusia pun, di Bumi yang dapat membuat dirinya disukai, atau disayang, oleh semua orang. Selalu akan ada orang-orang yang tidak suka, yang secara terus-menerus bersikap memusuhi.
Alangkah baiknya Presiden Jokowi juga fokus pada orang-orang yang membuat dirinya menang dalam pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat. Pada pemilihan presiden 2014, Jokowi dan Jusuf Kalla mengalahkan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa, dengan selisih suara lebih dari 8 juta.

Siapa yang dapat membujuknya?
            Sama seperti Presiden Jokowi yang harus menata sikap dan strateginya, Prabowo Subianto pun harus berbuat hal yang sama, jika ingin menang dalam pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat pada tahun 2019. Untuk bisa menang, Prabowo harus lebih rendah hati, lebih sabar, dan dapat lebih mengendalikan emosinya.
            Karier Prabowo di militer maju dengan sangat pesat. Sebagai menantu Presiden Soeharto, karier Prabowo di militer melesat, bagai melaju cepat di jalan tol. Mungkin semua itu yang membuat Prabowo menjadi cenderung kurang sabar dan emosinya meledak-ledak apabila apa yang diinginkannya tidak terlaksana. Belum lagi, sebagian besar hidup Prabowo dihabiskan di militer yang terbiasa hidup dengan garis komando.
            Itu menjadikan Prabowo merasa lebih nyaman berada dengan orang-orang yang dianggapnya sejalan dengan dia. Mirip slogan propaganda yang dilontarkan oleh Presiden Amerika Serikat George W Bush, ”You’re either with me or you’re against me (Kamu ikut saya, atau kamu musuh saya)”.    
Padahal dalam upaya menggalang suara lebih banyak agar bisa menang dalam pemilu, ia harus merangkul semua orang, semua pihak, dan bukan menunjukkan sikap bermusuhan, apa pun yang menjadi penyebabnya. Mengumbar emosi dan mengumbar kemarahan bukanlah cara yang baik untuk meraih simpati, apalagi untuk dapat meraih suara terbanyak.
            Namun, pertanyaannya, siapa yang dapat membujuk Prabowo untuk berubah? Pertanyaan itu membuat ingatan saya tertarik jauh ke belakang ketika Panglima ABRI Jenderal LB Moerdani menjadi pembicara di depan Angkatan Bersenjata Singapura di Temasek pada tahun 1988. Pada saat itu, seorang Kolonel harus mengulang kembali pertanyaannya karena Jenderal LB Moerdani tidak dapat mendengar pertanyaan itu dengan baik. Melihat hal itu, Kepala Angkatan Bersenjata Singapura Letnan Jenderal Winston Choo sambil bercanda mengatakan kepada Kolonel itu, ”Jangan kecil hati apabila kamu harus mengulang kembali pertanyaanmu. Oleh karena, seorang Jenderal itu biasa memberikan perintah. Ia tidak terbiasa mendengar.” Seluruh yang hadir tertawa mendengar candaan Winston Choo.
Kalau ingin menggalang suara yang diperlukannya untuk menang dalam pemilihan presiden secara langsung pada tahun 2019, Prabowo harus berubah. Itu pasti, tidak ada cara lain. Pertanyaan kembali muncul, siapa yang dapat membujuknya? Apakah Sandiaga Uno, calon wakil presiden yang mendampinginya? Pasti tidak, karena dia pun masih harus membumikan dirinya. Selama ini, ia selalu melayang di atas.Ia tidak pernah memulai sesuatu dari bawah.  

1 Komentar:

Blogger admin mengatakan...

Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

27 April 2019 pukul 10.53  

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda