Sabtu, 10 Agustus 2019

Wuling Almaz 7 Seater, Mobil yang Paling Banyak di-Test Drive di GIIAS 2019



Perusahaan mobil asal China, Wuling Motors, bisa tersenyum lebar. Bagaimana tidak, Wuling Almaz 7 Seater adalah mobil yang paling banyak di-test drive dalam penyelenggaraan Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2019 yang berlangsung dari tanggal 18-28 Juli lalu. Saking banyaknya pengunjung yang ingin men-test drive Wuling Almaz 7 Seater, terpaksa diambilkan unit demo fitur komando suara berbahasa Indonesia (WIND—Wuling Indonesia Command) dari area Beyond Mobility.
Wuling Almaz 7 Seater diluncurkan pada tanggal 18 Juli 2019 di Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2019 di Indonesia Convention Exhibition (ICE), BSD City, Tangerang. Wuling Almaz 7 Seater ini akan melengkapi Wuling Almaz 5 Seater yang diluncurkan akhir Februari lalu.
Wuling Almaz 7 Seater tetap mengandalkan mesin berkapasitas 1.5 Liter (1.451 cc), 4 silinder segaris, 16 katup (4 katup per silinder), double over-head camshaft (DOHC), dan diperkuat dengan turbocharger. Mesin itu menghasilkan tenaga maksimum 140 PK pada 5.300 rpm dan torsi maksimum 250 Nm pada 1.600-3.600 rpm. Memang tenaga sebesar itu bukanlah yang terbesar di kelasnya, tetapi torsi yang dihasilkan terbesar di kelasnya. Tenaga dan torsi itu diteruskan ke roda depan melalui persneling manual dengan 6 tingkat kecepatan, atau persneling otomatik CVT (continuously variable transmission) dengan 8 tingkat kecepatan. Keempat roda menggunakan velg 17 inci dan berukuran 215/60 R17.
Wuling Almaz memasuki segmen SUV compact yang ditempati Honda CR-V, Nissan XTrail, Renault Koleos, Hyundai Tucson, Mitsubishi Outlander, DFSK Glory 580, dan Suzuki Vitara.

Perangkat komando suara, yang diberi nama Wuling Indonesian Command (WIND), tidak hanya mencakup fungsi hiburan (entertainment), komunikasi (commucation), navigasi (navigation), tetapi juga peralatan kendaraan (vehicle equipment). Dengan kata lain, fungsi komando suara yang disuplai NUANCE, perusahaan Amerika Serikat, dapat mengoperasikan musik, kontrol audio, navigasi (map), telepon (melakukan panggilan telepon), mengakses file, hingga membuka/menutup sunroof, menghidupkan/mematikan wiper, membuka/menutup jendela, serta menghidupkan/membesarkan/mengecilkan dan mematikan penyejuk udara (AC).

Dimensi dari Wuling Almaz 7 Seater sama dengan yang 5 Seater. Panjangnya 4,655 meter, lebar 1,835 meter, dan tinggi 1,760 meter. Wuling Motors mengklaim penempatan kursi baris ketiga di belakang masih dalam batas kenyamanan penumpang dewasa. Keberadaan kursi baris ketiga itu, mengakibatkan posisi ban cadangan yang pada Almaz 5 Seater berada di kabin, dipindah ke kolong mobil.
Sama seperti pendahulunya, Wuling Almaz 7 seater sarat fitur mulai dari electric parking brake (EPB), auto vehicle holding (AVH), traction control system (TCS), hill hold control (HHC), anti-lock braking system (ABS), electronic brake-force distribution (EBD), brake assist (BA), electronic stability control (ESC), tire pressure monitoring system (TPMS), hingga emergency stop signal (ESS). Semua itu fitur membuat Wuling Almaz asyik dan aman dikendarai.
Selain sosoknya yang menarik, mirip dengan Chevrolet Captiva, orang juga tertarik pada Wuling Almaz karena sarat fitur, dilengkapi voice command (komando suara) berbahasa Indonesia, dan harganya yang terjangkau. Mulai dari Rp 263,8 juta yang terendah hingga Rp 338,8 juta yang tertinggi.
Perangkat komando suara, yang diberi nama Wuling Indonesian Command (WIND), tidak hanya mencakup fungsi hiburan (entertainment), komunikasi (commucation), navigasi (navigation), tetapi juga peralatan kendaraan (vehicle equipment). Dengan kata lain, fungsi komando suara yang disuplai NUANCE, perusahaan Amerika Serikat, dapat mengoperasikan musik, kontrol audio, navigasi (map), telepon (melakukan panggilan telepon), mengakses file, hingga membuka/menutup sunroof, menghidupkan/mematikan wiper, membuka/menutup jendela, serta menghidupkan/membesarkan/mengecilkan dan mematikan penyejuk udara (AC).

Memasuki tahun ketiga kehadiran Wuling di Indonesia, konsumen semakin bisa diyakinkan bahwa Wuling dapat disetarakan dengan mobil-mobil asal Jepang dan Korea Selatan. Wuling pertama kali hadir dengan Confero, lalu diikuti oleh Cortez, Formo, serta Almaz 5 Seater dan Almaz 7 Seater.

Senin, 05 Agustus 2019

Mercedes-AMG G 63, Mobil Penumpang Favorit Pengunjung GIIAS 2019


Penyelenggaraan Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2019 telah berakhir pekan lalu, 28 Juli lalu. Namun, ada beberapa cerita yang masih menarik untuk dibahas, di antaranya adalah tentang Mercedes-AMG G 63 yang menjadi mobil penumpang favorit pilihan pengunjung. Mercedes-AMG G 63 adalah salah satu varian G Class Mercedes Benz yang legendaris karena itu walaupun posisinya terpisah, kehadirannya menarik perhatian pengunjung GIIAS 2019.
Huruf G itu adalah singkatan dari geländewagen, yang artinya adalah mobil lintas alam (cross country). Sejatinya G Class adalah jip, tetapi karena jip dibuat ekstra nyaman serta fitur dan interiornya semewah sedan, maka G Class dikategorikan sebagai SUV (sport utility vehicle). Dan, dengan panjang 4,873 meter, lebar 1,984 meter, dan tinggi 1,969 meter, Mercedes-AMG G 63 merupakan midsize SUV.
Mercedes AMG G 63 adalah varian teratas dari G Class. Bahkan disebutkan, the new Mercedes-AMG G 63 does not tolerate rivals, tidak mentolerir pesaing. Dengan menyandang mesin berkapasitas 4.0 Liter (3.982 cc), 8 silinder dengan konfigurasi V (V8), dan diperkuat oleh dua turbocharger, tenaga dan torsi yang dihasilkan lebih dari cukup. Tenaga maksimumnya 585 PK pada 6.000 rpm, dan torsi maksimumnya 850 Nm pada 2.500-3.000 rpm.  Tenaga dan torsi sebesar itu diteruskan ke keempat roda yang berdiameter 21 inci melalui AMG Speedshift 9G-Tronic, dengan 9 tingkat kecepatan.
Di jalan raya, Mercedes-AMG G 63 dapat mencapai kecepatan 100 kilometer per jam dari posisi berhenti dalam waktu 4,5 detik, sangat cepat untuk sebuah SUV. Dan, dapat terus dipacu hingga kecepatan maksimum yang dibatasi secara elektronik pada 220 kilometer per jam. Di medan offroad, Mercedes-AMG G 63 dikenal ketangguhannya berkat penggunaan tiga kunci gardan (differential lock), di depan, di tengah, dan di belakang.


G Class yang dikembangkan oleh Daimler-Benz dan Steyr Daimler Puch di Graz, Austria, dan di Suttgartt 40 tahun lalu, tetap bertahan hingga sekarang. Modelnya telah berulang kali diubah tetapi bodi yang kotak dan kokoh tetap dipertahankan, dan ada 3 ciri yang tidak berubah, yakni tutup ban serep di belakang, bukaan pintu model kenop (tombol), dan semprotan pembersih lampu depan. Sedangkan kaca depan yang datar sudah diunah menjadi agak cembung untuk mengejar nilai aerodinamis (drug coefficient).
 Dan, G Class yang dibuat oleh Magna Steyr, Austria, tetap mempertahankan reputasinya sebagai kendaraan offroad tangguh yang nyaman dan aman dikendarai di jalan raya.
Mercedes-AMG G 63 yang dijual dengan harga Rp 5,459 miliar itu mengkonsumsi bensin sebanyak 13,3-13,1 liter untuk menempuh perjalanan sejauh 100 kilometer. Itu setara dengan 1 liter bensin untuk menempuh jarak 7,5-7,6 kilometer. Boros…. Tapi siapa yang peduli jika tenaga dan torsi yang dihasilkan sebesar itu. Kapasitas tengki bensinnya 100 liter. Dengan demikian, Mercedes-AMG G63 dapat menjelajah sejauh 750-760 kilometer untuk satu kali pengisian.

Minggu, 21 Juli 2019

Wuling yang Bisa Berbahasa Indonesia



”Tolong telepon istri saya dong!”
“Buka sunroof dong!”

Jangan salah, itu bukan percakapan antara penumpang dengan pengemudinya. Itu adalah instruksi yang diberikan pengemudi kepada perangkat komando suara (voice command) yang terdapat pada mobil Wuling Almaz 7 seater, yang diluncurkan pada hari Kamis (18/7) di Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) 27th di Indonesia Convention Exhibition (ICE), BSD City, Tangerang.

Sesungguhnya, Wuling Almaz 7 seater bukan mobil pertama yang dilengkapi dengan perangkat voice command, ada banyak mobil merek lain yang menggunakannya. Namun, Wuling Almaz 7 seater adalah mobil pertama dan satu-satunya yang perangkat komando suaranya yang menggunakan bahasa Indonesia. Mobil-mobil merek lain, komando suaranya menggunakan bahasa Inggris. Dengan demikian, tidak berlebihan jika disebutkan bahwa Almaz 7 seater bisa berbahasa Indonesia.
Perangkat komando suara, yang diberi nama Wuling Indonesian Command (WIND), tidak hanya mencakup fungsi hiburan (entertainment), komunikasi (commucation), navigasi (navigation), tetapi juga peralatan kendaraan (vehicle equipment). Dengan kata lain, fungsi komando suara yang disuplai NUANCE, perusahaan Amerika Serikat, dapat mengoperasikan musik, kontrol audio, navigasi (map), telepon (melakukan panggilan telepon), mengakses file, hingga membuka/menutup sunroof, menghidupkan/mematikan wiper, membuka/menutup jendela, serta menghidupkan/membesarkan/mengecilkan dan mematikan penyejuk udara (AC).
WIND diaktifkan dengan kata-kata, ”Halo Wuling”, dan setelah perangkat itu menjawab, ”Halo,” maka pengemudi melanjutkan perintahnya, seperti, antara lain dua kalimat di atas. Tidak seperti komando suara yang berbahasa Inggris, di mana pengguna harus melatih ucapannya dalam bahasa Inggris secara baik dan benar, pada komando suara dalam bahasa Indonesia segala sesuatunya menjadi lebih mudah karena WIND lebih luwes. Kata-kata atau perintahnya tidak kaku. Misalnya, ”Hari ini tanggal berapa?” atau ”Tanggal berapa hari ini?””Jam berapa sekarang?” atau ”Pukul berapa sekarang?” WIND bahkan dapat menangkap dialek bahasa Jawa, misalnya kata ”jendela” yang dilafalkan ”jendelo”, tetap dapat dikenali.  
Kata-kata atau perintah dapat diberikan dengan dua kata, ”keraskan volumenya”, “naikkan volumenya”, ”besarkan volumenya”, tiga kata, ”tolong keraskan volumenya”, hingga empat kata, ”Saya mau volumenya dikeraskan”.
WIND pun lumayan interaktif. Misalnya, saat mau menelepon seseorang yang namanya ada di kontak, katakanlah Effendi. Jika nomor telepon yang tercatat lebih dari satu, maka komando suara pun akan memunculkan semua nomor teleponnya di layar, dan meminta kita untuk memilih salah satu nomor.
Bagi pemilik Almaz yang lama, tidak perlu kecil hati. Jika ingin menggunakan WIND, itu sangat dimungkinkan. Pemilik hanya perlu mengunjungi dealer Wuling pada pertengahan bulan Agustus, dan WIND akan di-install secara gratis, tanpa perlu mengeluarkan biaya. 

Minggu, 14 April 2019

Dua Alur Lalu Lintas

Pada tanggal 1 April 2019 lalu, saya mencoba menggunakan MRT. Begitu memasuki Stasiun Haji Nawi, saya mendapati bahwa sama seperti KRL atau kereta api, MRT pun menganut alur lalu lintas kanan (right hand side). Ini berbeda dengan alur lalu lintas jalan raya yang menganut alur lalu lintas kiri (left hand side).
MRT dari Stasiun Lebak Bulus ke arah Bundaran Hotel Indonesia melaju di sebelah kanan, dan arah sebaliknya melaju di sebelah kiri, jika kita berdiri menghadap ke Bundaran Hotel Indonesia. Sementara jika berada di jalan raya, maka kendaraan dari Blok M ke arah Bundaran Hotel Indonesia melaju di sebelah kiri, dan arah sebaliknya melaju di sebelah kanan, jika kita berdiri menghadap ke Bundaran Hotel Indonesia.
Pertanyaannya, mengapa hal itu dapat terjadi? Mengapa Indonesia menganut dua alur lalu lintas? Untuk menjawabnya, kita perlu menengok jauh ke belakang, ke tahun 1867, ke masa pemerintahan kolonial Belanda (Hindia Belanda), lebih dari 152 tahun lalu. Jalur rel kereta api pertama kali diresmikan pada tahun 1867. Oleh karena pada saat itu yang memerintah adalah pemerintahan kolonial Belanda, maka wajar saja jika Hindia Belanda menganut alur lalu lintas kanan, sama seperti yang dianut Belanda.
Lalu mengapa lalu lintas jalan raya menganut alur lalu lintas kiri? Itu karena Hindia Belanda pernah diduduki oleh Inggris dengan Thomas Stamford Raffles sebagai Gubernur Jenderal (1811-1816). Dalam kedudukannya sebagai Gubernur Jenderal, Raffles turut menggunakan ruas-ruas jalan di Jawa yang dibuat atas perintah Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811). Lumrah saja jika Raffles memberlakukan alur lalu lintas kiri seperti yang berlaku di negara asalnya, Inggris. Dan, alur lalu lintas kiri di jalan raya itu kemudian dipertahankan oleh Hindia Belanda dan Indonesia. 
Dalam buku ”Sepoer Oeap di Djawa Tempo Dulu” yang ditulis oleh Olivier Johannes Raap, yang diterbitkan oleh KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), Juli 2017, disebutkan, sejak zaman Romawi di Eropa menganut alur lalu lintas kiri karena penunggang kuda membawa pedang di sebelah kiri. Di Perancis, atas prakarsa Kaisar Napoleon (1804-1815), menetapkan alur lalu lintas kanan. Alasannya, kusir kereta kuda biasanya memakai tangan kanan untuk memegang cambuk, karena itu mereka lebih suka duduk di sebelah kiri.
Pada saat ini, sebagian besar negara di dunia menganut alur lalu lintas kanan (setir di kiri). Sementara  hampir semua negara eks  jajahan Inggris menganut alur lalu lintas kiri (setir di kanan). Tercatat ada 165 negara yang menganut alur lalu lintas kanan, dan hanya 75 negara yang menganut alur lalu lintas kiri. Dengan kata lain, 69 persen dari negara di dunia menganut alur lalu lintas kanan.
Di antara negara-negara anggota ASEAN, 5 negara menganut alur lalu lintas kiri, yakni brunei, Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand, serta 5 negara menganut alur lalu lintas kanan, yakni Filipina, Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam.

Minggu, 31 Maret 2019

Ancaman dari Utara

Calon Presiden 02, Prabowo Subianto, dalam acara debat ke-4 Calon Presiden berulang kali mengatakan, militer kita lemah. Sebagai tolok ukur, Prabowo Subianto menghubungkannya dengan anggaran yang dialokasikan untuk pertahanan. Padahal, militer kuat atau lemah itu biasanya dikaitkan dengan persepsi atau potensi ancaman. 
Mungkin Prabowo selalu mempersepsikan bahwa militer yang kuat, itu terkait dengan besaran atau jumlah. Dugaan itu muncul karena pada saat menjabat sebagai Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus), Prabowo Subianto, ia berniat mengembangkan Kopassus menjadi sebuah divisi. Padahal yang namanya pasukan khusus, di mana-mana itu jumlahnya kecil, atau tepatnya, terbatas, karena anggota merupakan yang terbaik dari yang terbaik, the best of the best.
Di masa lalu, ancaman terhadap keamanan Indonesia dipersepsikan datang dari utara. Itu karena ancaman terhadap wilayah ini selalu datang dari utara. Mulai dari Indonesia belum terbentuk, dari Belanda dan kemudian Jepang, kemudian di masa Orde Baru dari China yang komunis. Namun, setelah Perang Dingin berakhir, walaupun ancaman bagi Indonesia masih dipersepsikan datang dari utara, tetapi negaranya sudah tidak jelas lagi.
Pada masa sekarang ini, tidak ada satu pun negara di utara Indonesia yang dianggap berpotensi untuk menyerang Indonesia. Indonesia memang masih memiliki sengketa batas wilayah dengan negara lain, tetapi semua negara itu bersahabat dengan Indonesia, seperti Singapura, Malaysia, Filipina, dan Vietnam. Dengan demikian, sengketa wilayah itu diselesaikan secara damai melalui meja perundingan.  
Namun, ketiadaan musuh, tidak berarti Indonesia tidak memerlukan militer. Persoalannya, berapa besar militer itu akan dibangun. Sebab ada ungkapan dalam bahasa Latin yang menyatakan, ”Si vis pacem, para bellum (Jika mendambakan perdamaian, bersiap-siaplah menghadapi perang).” Itu sebabnya, Swiss dan Swedia, negara netral pada Perang Dunia II dan Perang Dingin memiliki militer yang andal. Meskipun mungkin lemah apabila dibandingkan dengan militer-militer negara Eropa lain.
Pada tanggal 12 November 1988, beberapa hari setelah pensiun dari militer, Menteri Pertahanan dan Keamanan L.B. Moerdani diundang untuk berbicara di depan perwira-perwira menengah Angkatan Bersenjata Singapura di Temasek Club, Singapura. Usai Jenderal (Purn) L.B. Moerdani menyelesaikan ceramahnya tentang The Strategic Situation in the Pacific Region—The Challenges We Face, seorang kolonel berkata, ”Sama seperti Singapura, Indonesia pun mempersepsikan ancaman dari utara. Yang saya ingin tanyakan, apa yang akan dilakukan Indonesia, jika ancaman itu datang dari selatan.” Bukannya menjawab bahwa di selatan Indonesia hanya ada Australia dan Selandia Baru, yang merupakan negara yang bersahabat. L.B. Moerdani secara berseloroh mengatakan, ”Dengar baik-baik, jika Indonesia mendapatkan serangan dari selatan, maka hal pertama yang akan saya lakukan adalah menduduki Singapura, dan saya akan menyerang ke selatan dengan menggunakan persenjataan dan fasilitas militer Singapura. Lumayan kan pilot-pilot Indonesia dapat menggunakan pesawat-pesawat tempur F-16 Fighting Falcon Singapura yang jumlahnya lebih banyak.” Seloroh itu disambut perwira-perwira menengah Singapura dengan standing ovation, tepuk tangan sambil berdiri.   
Akhir-akhir ini, ancaman bagi keamanan Indonesia bukan lagi serangan dari negara lain, akan tetapi terutama menghadapi serangan teroris di dalam negeri. Oleh karena itu diperlukan satuan-satuan pemukul militer kecil yang andal dan tangguh  sehingga mudah dipindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain sesuai dengan keperluan. Perlengkapannya pun modern dan mobile, bisa dibawa ke mana-mana. Selain itu, karena Indonesia merupakan negara kepulauan yang bagian terbesar wilayahnya terdiri dari perairan, memiliki kekuatan laut yang kuat menjadi keharusan untuk mengamankan perairannya. Pengembangan kekuatan itu tidak perlu serta merta atau sekaligus, tetapi didasarkan pada prioritas dan disesuaikan dengan anggaran tersedia.

Jumat, 29 Maret 2019

"Take for Granted"


Dalam kehidupan sehari-hari kita biasa mendengar istilah dalam bahasa Inggris, take for granted. Istilah take for granted dapat diartikan, menganggap bahwa sesuatu itu selalu ada. Misalnya soal cinta atau kepercayaan. Padahal itu perlu diperlihara.
Harian Kompas yang pertama kali terbit pada tanggal 28 Juni 1965. Melalui kerja keras dan integritas pendiri dan wartawannya, harian Kompas berhasil menempatkan diri sebagai salah satu suratkabar yang kredibel (dapat dipercaya), independen, dan netral. Selama lebih dari 50 tahun, harian Kompas tetap mempertahankan reputasinya sebagai suratkabar yang kredibel, independen, dan netral.
Reputasi itu diperoleh lewat isi suratkabar yang senantiasa menyapa pembacanya setiap pagi, kecuali pada tanggal merah di kalender, atau hari libur resmi yang ditetapkan oleh pemerintah. Dan, selama ini, harian Kompas menganggap reputasinya sebagai suratkabar yang kredibel, independen, dan netral itu sebagai sesuatu yang selalu ada, take for granted.
Harian Kompas abai karena menganggap bahwa reputasinya sebagai suratkabar yang kredibel, independen, dan netral itu selalu ada. Padahal, dunia, terutama dunia informasi sudah berubah total. Perkembangan jejaring internet dalam beberapa tahun terakhir demikian pesat sehingga memunculkan berbagai ragam media online dan media sosial. Cara orang memperoleh informasi berbeda, dan cara orang berkomunikasi pun berbeda. Akibatnya, cara memelihara reputasi harian Kompas sebagai suratkabar yang kredibel, independen, dan netral dengan menyapa pembacanya lewat isi suratkabar setiap pagi tampaknya tidak lagi cukup.
Sehingga ketika harian Kompas ”diserang” sebagai memihak calon Presiden 02, Prabowo Subianto. Tidak sedikit pembaca setia harian Kompas yang tiba-tiba seperti disadarkan, dan mulai bertanya-tanya, benarkah hari Kompas masih merupakan suratkabar yang kredibel, independen, dan netral? Banyak pembaca yang secara informal menghubungi wartawan Kompas yang dikenalnya dan meminta penjelasan.
Harian Kompas pun menempuh berbagai upaya dan cara untuk menegaskan kepada para pembacanya bahwa harian Kompas tetap seperti yang dulu, tidak perubahan.   
Kasus yang baru-baru ini dihadapi harian Kompas memperlihatkan bahwa reputasi sebagai suratkabar yang kredibel, independen, dan netral bukanlah sesuatu yang selalu ada, take for granted. Isi suratkabar saja tidaklah cukup, pergerakan jajaran staf redaksinya pun harus selalu dikaitkan dengan reputasinya. Harian Kompas pun perlu memanfaatkan semua saluran yang dimilikinya untuk mengingatkan pembacanya bahwa harian Kompas menjunjung tinggi kredibilitas, independensi, dan netralitas yang dianutnya selama 50 tahun lebih.
Di harian Kompas, keputusan selalu diambil secara tim, secara kolektif. Siapapun yang memimpin redaksi, tidak dapat memutuskan segala sesuatunya sendiri. Segala keputusan diambil secara tim. Dan, itu adalah suatu yang telah dipraktikkan harian Kompas sejak lama.
Dengan adanya perubahan dari cara orang memperoleh informasi, dan cara orang berkomunikasi, harian Kompas pun pun perlu memikirkan cara-cara baru dalam berkomunikasi dengan pembacanya. Tujuannya agar reputasi yang telah dipertahankan selama lebih dari 50 tahun itu tetap terjaga.

Rabu, 27 Maret 2019

"Vox Populi, Vox Dei"


Dalam sistem demokrasi, kita mengenal ungkapan dalam bahasa Latin, Vox populi, vox Dei, yang terjemahannya adalah suara rakyat adalah suara Tuhan. Ungkapan itu menjadi kenyataan setiap kali diadakan pemilihan Presiden yang di Indonesia berlangsung 5 tahun sekali.

Ungkapan itu tidak mengada-ada. Pada setiap kali pemilihan Presiden dilangsungkan, suara rakyatlah yang menentukan siapa di antara calon Presiden akan keluar sebagai pemenang, dan memerintah untuk 5 tahun mendatang. Dengan kata lain, di dalam pemilihan Presiden, suara rakyat seperti sama saktinya dengan suara Tuhan.

Seorang Presiden boleh saja menjadi orang yang paling berkuasa di negeri ini selama 5 tahun. Akan tetapi, pada saat ia mengajukan diri untuk menjadi calon Presiden untuk periode 5 tahun yang kedua, ia tidak dapat menggunakan kekuasaannya untuk memenangkan dirinya. Ia memerlukan suara rakyat untuk membuat dirinya keluar sebagai pemenang.

Tidak heran, jika kedua calon Presiden Indonesia untuk periode 2019-2014, berkampanye habis-habisan untuk mendapatkan raihan suara rakyat yang terbanyak sehingga terpilih sebagai Presiden.

Dalam pemilihan Presiden yang akan berlangsung pada tanggal 17 April 2019, secara teoretis Presiden Joko Widodo, yang akrab disapa Jokowi, memang berada dalam ”posisi yang lebih baik” daripada penantangnya, calon Presiden Prabowo Subianto. Mengapa berada dalam ”posisi yang lebih baik”, karena calon Presiden Jokowi sudah membuktikan diri dengan memerintah selama 5 tahun, dari tahun 2014-2019. Hasil kerjanya nyata bukan sekadar janji. Berbeda dengan calon Presiden Prabowo Subianto yang baru mengutarakan janji.

Akan tetapi, apakah ”posisi yang lebih baik” akan memenangkan calon Presiden Jokowi, tidak ada yang dapat mengetahuinya, apalagi memastikannya. Bisa iya, tetapi bisa juga tidak. Kepastian itu baru didapat setelah pemilihan Presiden dilakukan, dan jumlah suara dihitung.

Namun, menunggu hingga jumlah suara selesai dihitung, dirasakan terlalu lama, untuk itulah diadakanlah survei-survei untuk memperkirakan perolehan raihan suara dari setiap calon Presiden. Dari sekian banyak survei yang ada, sebagian besar memperlihatkan bahwa calon Presiden Jokowi, akan meraih suara yang lebih banyak daripada yang diraih oleh calon Presiden Prabowo Subianto.

Akan tetapi, apakah itu menjamin bahwa calon Presiden Jokowi akan menang? Sulit untuk menjawabnya. Survei-survei itu memang menggunakan metodologi yang memungkinkan pembuat survei memperkirakan raihan suara yang diraih masing-masing calon Presiden. Dan, dalam beberapa kesempatan , perkiraan raihan suara itu memiliki tingkat presisi yang mencengangkan.

Yang tidak boleh dilupakan, survei-survei itu dilakukan pada suatu periode waktu tertentu. Sebab itu, kerap kali disebutkan, jika pemilihan Presiden itu diadakan pada saat survei-survei itu dilakukan maka hasil raihan suara akan serupa dengan hasil survei-survei itu.

Calon Presiden Jokowi berharap agar suasana pada saat pemilihan Presiden itu sama dengan suasana pada saat survei-survei itu dilakukan sehingga ia akan keluar sebagai pemenang. Sebaliknya, calon Presiden Prabowo Subianto berharap agar suasananya berbeda sehingga ia yang akan keluar sebagai pemenang.

Itulah indahnya demokrasi. Pada saat pemilihan Presiden, rakyatlah yang paling berkuasa. Rakyatlah yang sepenuh menentukan siapa yang akan menjadi Presiden untuk periode 2019-2024. Vox populi, vox Dei.