Sabtu, 13 Oktober 2018

Mungkinkah Dihargai Masyarakat di Negara Sendiri?


                CNN Indonesia.com melaporkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, lebih mudah mendapatkan pengakuan di luar negeri daripada dari masyarakat di negara sendiri.
Pernyataan itu dikemukakan Sri Mulyani pada saat menerima penghargaan Finance Minister of The Year 2018 untuk Kawasan Asia Timur-Pasifik versi majalah Global Markets di Hotel Ayodya Nusa Dua, Bali, Jumat (13/10). Bahkan dengan rendah hati, Sri Mulyani menambahkan, ”(Kritik) itu artinya Indonesia mengharapkan kami bekerja lebih baik. Tidak apa-apa itu bagus untuk memacu semangat kami.”
Apa yang dirasakan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani itu, bukanlah hal yang baru. Hampir semua pemimpin negara ini merasakannya. ”Lebih mudah mendapatkan pengakuan dari luar negeri daripada dari masyarakat di negara sendiri.”
Di negara ini, rasanya tidak ada tindakan, kebijakan, atau langkah yang dilakukan pemimpin yang dianggap benar, selalu saja ada orang, atau orang-orang, yang merasa dapat melakukannya lebih baik. Dan, itu bukanlah hal yang baru. Perasaan serupa juga dirasakan oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir yang memimpin tiga kabinet dalam waktu relatif singkat dari tahun 1945-1947.
Pada tahun 1945, ketika kembali ke Indonesia, Belanda hanya mengakui wilayah Republik Indonesia mencakup Jawa dan Madura. Ketika melalui perundingan Linggarjati tahun 1946 akhirnya Belanda mengakui wilayah Republik Indonesia mencakup Jawa, Madura, dan Sumatera, tidak banyak yang menghargai pencapaian itu karena tuntutannya wilayah Republik Indonesia meliputi seluruh wilayah eks Hindia Belanda.
Padahal Presiden Soekarno sendiri mengakui, ”Linggarjati bukanlah solusi yang paling baik, jauh daripada itu. Akan tetapi setelah berbulan-bulan bertikai, maka perjanjian itu merupakan satu-satunya pilihan. Sekalipun delegasi kami tidak senang dengan hasil yang dicapai, kami menerimanya juga dengan perasaan berat.”
Karena dikecam terlalu mengalah pada Belanda, Sjahrir memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Perdana Menteri, dan ia digantikan oleh Amir Sjarifuddin Harahap, yang menjabat sebagai Menteri Penerangan pada Kabinet Presiden Soekarno, dan Menteri Pertahanan pada Kabinet Sjahrir I, II, dan III. Namun, di bawah pemerintahan Perdana Menteri Amir Sjarifuddin keadaan tidak menjadi lebih baik.
Terjadi Agresi Militer I tahun 1947, dan Sutan Sjahrir ditunjuk Presiden Soekarno menjadi
Duta Besar Keliling (Ambassador-at-Large) yang diberi tugas mewakili Republik Indonesia di fora internasional. Sjahrir kemudian berpidato di Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan pidatonya disebut surat kabar New York Herald Tribune sebagai salah satu pidato yang paling menggetarkan di Dewan Keamanan PBB.
            Perdana Menteri Amir Sjarifuddin kemudian memimpin delegasi Republik Indonesia dalam perundingan Renville tahun 1947, dan hasilnya wilayah Republik Indonesia semakin berkurang, hanya mencakup Yogyakarta dan sekitarnya (sebagian Jawa Tengah), Banten, dan sebagian Sumatera. Tentangan dan reaksi keras itu membuat Amir Sjarifuddin tidak mempunyai pilihan lain, kecuali meletakkan jabatannya sebagai Perdana Menteri.
            Sulitnya mendapatkan pengakuan dari masyarakat di negara sendiri itu yang membuat di masa lalu, pada era demokrasi parlementer pemerintahan sedikit-sedikit berganti      . Paling lama suatu pemerintahan hanya bertahan dua tahun. Selalu ada orang, atau orang-orang, yang berusaha mengganti pemerintahan sebelum waktunya. Yang dapat bertahan lebih dari lima tahun, hanyalah pemerintahan otoriter, Presiden Soekarno pada era demokrasi terpimpin (1959-1967), 8 tahun, dan Presiden Soeharto pada era demokrasi Pancasila (1967-1998), 31 tahun.
            Di masa reformasi yang demokratis, baru Susilo Bambang Yudhoyono yang memerintah dua periode masing-masing lima tahun. Tekanan yang dihadapi Presiden Yudhyono selama 10 tahun memerintah sangat kasat mata.
            Presiden Joko Widodo pun tidak terkecuali. Mungkin masih diperlukan waktu yang lama di mana prestasi pemimpin di negeri ini bisa diakui oleh masyarakat di negara sendiri, atau mungkin itu hanya merupakan mimpi.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda