Pada Akhirnya Semuanya soal ”Kepentingan”
Otto von
Bismark dari Prusia (Jerman) pernah mengatakan bahwa politik adalah the art of the possible. Semuanya bisa
terjadi, bahkan yang tidak pernah terpikirkan sama sekali. Itu sama sekali tidak
berarti bahwa tindakan itu yang paling benar, atau apakah tindakan itu yang
terbaik, melainkan hanya berarti bahwa tindakan itu dapat dilakukan.
Dan, banyak
peristiwa di dunia, menunjukkan bahwa pada akhirnya, politik itu tidak lebih
dari sekadar soal kepentingan. Misalnya pada tahun 1972, ketika Amerika Serikat
meninggalkan Taiwan demi China, atau Mesir pada tahun 1978 meninggalkan
negara-negara Arab dan berdamai dengan Israel. Itu hanya untuk menyebut
beberapa.
Apa yang
terjadi pekan lalu juga terjadi di Indonesia. Presiden Joko Widodo, yang akrab
disapa Jokowi, memilih Mar’uf Amin sebagai calon wakil presidennya. Jelas hal
itu dilakukan karena kepentingan, atau paling tidak Presiden Jokowi merasa
”penting” untuk melakukan itu. Banyak yang memperkirakan, tindakan Jokowi itu
dilakukan untuk ”meredam” gangguan yang selama dialami terhadap diri dan
pemerintahnya.
Apalagi,
kalangan oposisi—dalam hal ini Prabowo Subianto—juga melakukan pendekatan
kepada sekelompok ulama yang mengambil sikap ”berseberangan” dengan pemerintahan
Presiden Jokowi. Sekelompok ulama itu bahkan mengadakan Ijtima dan menetapkan,
dua calon wakil presiden bagi Prabowo, yakni Salim Segaf Al Jufri, Ketua Majelis
Syuro PKS, dan mubalig Abdul Somad. Namun, beberapa hari kemudian Abdul Somad
kemudian menolak penetapan itu karena ingin fokus berdakwah.
Kepentingan
pulalah yang membuat akhirnya Prabowo meninggalkan sekelompok ulama
pendukungnya, dan memilih Sandiaga Uno, Wakil Gubernur DKI Jakarta, sebagai
wakil presiden pendampingnya. Tentunya, Prabowo mempunyai kepentingan tersendiri,
mengapa akhirnya dia memilih Sandiaga Uno sebagai pendampingnya.
Namun,
dengan langkah Prabowo meninggalkan sekelompok ulama yang mendukungnya, langkah
Jokowi yang oleh beberapa kalangan disebut sebagai tindakan cerdas menjadi
tanda tanya besar, karena ”medan perang” yang terbentang di depan berubah
drastis. Kini, pertempurannya adalah merebut kalangan nasionalis yang tiba-tiba
terlepas.
Sepanjang
sejarahnya, PDI Perjuangan adalah partai nasionalis. Menurut hitung-hitungan di
atas kertas, yang paling wajar adalah Presiden Jokowi memilih Airlangga
Hartarto, Ketua Umum Partai Golkar yang juga partai nasionalis, sebagai calon
wakil presiden. Kita bahwa Presiden Jokowi dan partai-partai pendukungnya
mempunyai perhitungan tersendiri. Politik adalah the art of the possible, tetapi apakah pilihan itu benar? Itu soal
lain. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2019 yang akan
membuktikannya. Prabowo dan partai-partai pendukungnya tentunya memiliki
perhitungan tersendiri. Dengan memilih Sandiaga Uno sebagai wakil presiden
membuat peluang Prabowo mendapatkan dukungan dari kalangan nasionalis cukup
besar.
Dengan
pemilihan wakil presiden yang ”mengejutkan” itu, peluang Jokowi dan Prabowo
untuk memenangkan Pemilihan Presiden 2019 menjadi sama, alias par, istilah
dalam olahraga Golf. Pemenangnya sangat ditentukan oleh pukulan-pukulan bola di
lubang-lubang berikutnya. Semakin sedikit pukulan yang diperlukan semakin baik
nilai yang didapat. Semua itu memerlukan kecermatan yang tinggi, mulai dari
pemilihan tangkai pemukul yang tepat hingga pukulan dan tenaga yang tepat.
Itu
sebabnya, sangat menarik bagi kita untuk mengikuti pergerakan dari Presiden
Jokowi dan Prabowo pada hari-hari ke depan….
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda