Senin, 13 Agustus 2018

Pada Akhirnya Semuanya soal ”Kepentingan”

 Kompas.com


Otto von Bismark dari Prusia (Jerman) pernah mengatakan bahwa politik adalah the art of the possible. Semuanya bisa terjadi, bahkan yang tidak pernah terpikirkan sama sekali. Itu sama sekali tidak berarti bahwa tindakan itu yang paling benar, atau apakah tindakan itu yang terbaik, melainkan hanya berarti bahwa tindakan itu dapat dilakukan.



Dan, banyak peristiwa di dunia, menunjukkan bahwa pada akhirnya, politik itu tidak lebih dari sekadar soal kepentingan. Misalnya pada tahun 1972, ketika Amerika Serikat meninggalkan Taiwan demi China, atau Mesir pada tahun 1978 meninggalkan negara-negara Arab dan berdamai dengan Israel. Itu hanya untuk menyebut beberapa.
Apa yang terjadi pekan lalu juga terjadi di Indonesia. Presiden Joko Widodo, yang akrab disapa Jokowi, memilih Mar’uf Amin sebagai calon wakil presidennya. Jelas hal itu dilakukan karena kepentingan, atau paling tidak Presiden Jokowi merasa ”penting” untuk melakukan itu. Banyak yang memperkirakan, tindakan Jokowi itu dilakukan untuk ”meredam” gangguan yang selama dialami terhadap diri dan pemerintahnya.
Apalagi, kalangan oposisi—dalam hal ini Prabowo Subianto—juga melakukan pendekatan kepada sekelompok ulama yang mengambil sikap ”berseberangan” dengan pemerintahan Presiden Jokowi. Sekelompok ulama itu bahkan mengadakan Ijtima dan menetapkan, dua calon wakil presiden bagi Prabowo, yakni Salim Segaf Al Jufri, Ketua Majelis Syuro PKS, dan mubalig Abdul Somad. Namun, beberapa hari kemudian Abdul Somad kemudian menolak penetapan itu karena ingin fokus berdakwah.
Kepentingan pulalah yang membuat akhirnya Prabowo meninggalkan sekelompok ulama pendukungnya, dan memilih Sandiaga Uno, Wakil Gubernur DKI Jakarta, sebagai wakil presiden pendampingnya. Tentunya, Prabowo mempunyai kepentingan tersendiri, mengapa akhirnya dia memilih Sandiaga Uno sebagai pendampingnya.  
Namun, dengan langkah Prabowo meninggalkan sekelompok ulama yang mendukungnya, langkah Jokowi yang oleh beberapa kalangan disebut sebagai tindakan cerdas menjadi tanda tanya besar, karena ”medan perang” yang terbentang di depan berubah drastis. Kini, pertempurannya adalah merebut kalangan nasionalis yang tiba-tiba terlepas.
Sepanjang sejarahnya, PDI Perjuangan adalah partai nasionalis. Menurut hitung-hitungan di atas kertas, yang paling wajar adalah Presiden Jokowi memilih Airlangga Hartarto, Ketua Umum Partai Golkar yang juga partai nasionalis, sebagai calon wakil presiden. Kita bahwa Presiden Jokowi dan partai-partai pendukungnya mempunyai perhitungan tersendiri. Politik adalah the art of the possible, tetapi apakah pilihan itu benar? Itu soal lain. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2019 yang akan membuktikannya. Prabowo dan partai-partai pendukungnya tentunya memiliki perhitungan tersendiri. Dengan memilih Sandiaga Uno sebagai wakil presiden membuat peluang Prabowo mendapatkan dukungan dari kalangan nasionalis cukup besar.
Dengan pemilihan wakil presiden yang ”mengejutkan” itu, peluang Jokowi dan Prabowo untuk memenangkan Pemilihan Presiden 2019 menjadi sama, alias par, istilah dalam olahraga Golf. Pemenangnya sangat ditentukan oleh pukulan-pukulan bola di lubang-lubang berikutnya. Semakin sedikit pukulan yang diperlukan semakin baik nilai yang didapat. Semua itu memerlukan kecermatan yang tinggi, mulai dari pemilihan tangkai pemukul yang tepat hingga pukulan dan tenaga yang tepat.
Itu sebabnya, sangat menarik bagi kita untuk mengikuti pergerakan dari Presiden Jokowi dan Prabowo pada hari-hari ke depan….

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda