Selasa, 04 September 2018

Bantuan Harus Sampai Tanpa Potongan

Pada hari Minggu (2/9) di Lombok, Presiden Joko Widodo memperingatkan para pejabat di Nusa Tenggara Barat dan orang-orang yang terlibat dalam pemulihan bencana agar dana bantuan sampai ke tangan korban gempa bumi tanpa potongan apa pun. ”Hati-hati bekerja dengan saya, hati-hati, saya cek. Saya tidak ingin ada serupiah pun dipotong di tabungan ini. Semuanya harus masuk ke masyarakat,” ujar Jokowi dengan nada tegas.
            Apa yang ditegaskan oleh Presiden Jokowi itu tidak mengada-ada. Pemotongan terhadap dana bantuan bencana adalah praktik yang biasa dilakukan di negeri ini. Bantuan bencana tidak pernah utuh sampai ke tangan korban bencana. Bahkan dalam banyak kasus, bantuan jatuh ke tangan orang-orang yang sesungguhnya tidak berhak menerima bantuan itu. Itu sebabnya pada saat mendengar peringatan yang dilontarkan Presiden Jokowi itu, ingatan saya langsung tertarik mundur ke jauh belakang, ke tahun 1994, 24 tahun yang lalu, pada saat saya menghadiri Konferensi Indonesia, ASEAN, and The World Today di New York, Amerika Serikat. Konferensi itu disponsori oleh The Asia Society, Centre for Strategic and International Studies Jakarta, dan The United States-Indonesia Society.
            Dalam acara jamuan makan malam yang diadakan di Kantor Perwakilan Tetap RI untuk PBB di New York, salah seorang diplomat RI mengatakan kepada saya, ”Aneh ya pak. Amerika Serikat itu selalu dikatakan sebagai negara yang orang-orangnya individualistik, hanya memikirkan diri sendiri, dan tidak peduli pada orang-orang lain. Sedangkan Indonesia selalu dikatakan sebagai bangsa yang Pancasilais, yang menempatkan soal kemanusiaan di atas segala-galanya, yang dirumuskan dalam sila kedua, yakni Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Namun, setelah saya ditugaskan di Amerika Serikat, yang mendapati bahwa kok keadaannya justru bertolak belakang.”
            Ia mengemukakan, pada bulan Juni hingga September 1993, Sungai Mississippi meluap di sepanjang jalur yang dilalui. Sedikitnya 31 orang tewas, sebanyak 31.000 orang kehilangan tempat tinggal, serta ladang seluas 41.440 kilometer persegi hancur. Kerugian mencapai 10 miliar dollar AS (sekitar Rp 20 triliun). Pada saat itu, orang-orang Amerika tidak hanya menggalang dana guna membantu korban yang terdampak. Banyak warga Amerika Serikat yang mengambil cuti, dan berangkat ke wilayah yang terkena bencana banjir untuk menyumbangkan tenaga. Bahkan, tidak sedikit warga New York, termasuk tetangganya, yang menempuh jarak sejauh 1.530 kilometer dengan mobil ke St Louis untuk membantu korban bencana.
            ”Sebagai orang Indonesia, saya merasa malu. Saya masih ingat bagaimana ketika pada tanggal 12 Desember 1992 gempa berkekuatan 7,8 pada skala Richter di lepas pantai Flores, Nusa Tenggara Timur, yang disusul tsunami setinggi 36 meter yang menghancurkan rumah-rumah di pesisir pantai Flores. Sedikitnya 2.100 orang tewas, 500 orang hilang, 447 orang luka-luka, dan 5.000 orang mengungsi. Dana bantuan pun segera digalang, sandang dan pangan pun dikumpulkan, tetapi ternyata banyak bantuan yang sampai di Flores itu tidak tersalurkan dengan baik. Banyak korban bencana yang menunggu bantuan yang tidak kunjung datang. Sementara banyak orang yang bukan korban bencana mendapatkan bantuan itu,” paparnya.
            Saya berharap Presiden Jokowi sungguh-sungguh dengan peringatannya. Dengan kata lain, Presiden Jokowi benar-benar mengawasi agar bantuan itu benar-benar diterima oleh korban bencana, dan bukan diterima oleh orang-orang yang tidak berhak. Selain itu, bantuan itu juga diterima oleh korban bencana secara penuh, dalam arti tidak ada potongan dengan alasan apapun. Praktik yang merugikan korban bencana yang telah berlangsung selama bertahun-tahun itu harus diakhiri.


0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda