Mengurai Kemacetan bagai Menegakkan Benang Basah
Jakarta identik dengan kemacetan lalu lintas. Jika lalu lintas tidak macet, itu bukan Jakarta namanya. Menghabiskan waktu satu dua jam untuk berangkat ke tempat kerja dan pulang ke rumah itu adalah tantangan yang sehari-hari dihadapi oleh warga Jakarta.
Keinginan untuk mengurai kemacetan itu bukan tidak ada, tetapi tidak ada yang tahu dari mana harus memulainya. Persoalannya, macet di Jakarta itu bukan hanya karena pertambahan jumlah kendaraan bermotor tidak seimbang dengan pertambahan panjang ruas jalan, tetapi ada banyak faktor lain yang tumpang tindih.
Memang jumlah pertambahan kendaraan bermotor itu berlangsung seperti deret ukur, sedangkan pertambahan panjang ruas jalan berlangsung seperti deret hitung, tetapi itu bukan satu-satunya penyebab terjadinya kemacetan di Jakarta. Masih ada faktor lain, yakni semrawutnya tata kota, rendahnya disiplin berlalu lintas, serta belum baiknya manajemen lalu lintas.
Di beberapa negara lain, jumlah kendaraan bermotor di jalan dikurangi dengan menyediakan transportasi umum massal yang nyaman dan aman, termasuk kereta bawah tanah. Di negara ini, transportasi umum dilayani oleh angkutan umum minibus, mikrobus, dan bus yang hanya dapat memuat penumpang 13-80 orang per unit. Dan, transportasi umum di Jakarta dan sekitarnya itu jauh dari nyaman dan aman sehingga pengendara dan penumpang mobil pribadi enggan menggunakannya.
Belum lagi besarnya total ongkos yang harus dikeluarkan seseorang untuk melakukan perjalanan dari rumah ke kantor dan sebaliknya, membuat banyak orang yang memilih menggunakan sepeda motor. Bagi seseorang yang tinggal di pinggiran Jakarta, untuk melakukan perjalanan ke kantor dan kembali ke rumah dengan transportasi umum, ia memerlukan sedikitnya Rp 20.000. Belum lagi waktu tempuhnya. Dengan menggunakan sepeda motor, uang Rp 20.000 itu dapat digunakan minimum untuk 1 minggu dan waktu tempuhnya jauh lebih singkat.
Semrawutnya tata kota itu dapat dilihat dari banyaknya gedung pemerintah, kantor, toko, sekolah, rumah ibadah, atau pasar yang tidak memiliki lahan parkir sehingga kendaraan-kendaraan menggunakan badan jalan sebagai tempat parkir. Akibatnya, aliran lalu lintas yang melalui tempat-tempat itu tersendat dan sebagai buntutnya terjadi kemacetan.
Bukan itu saja, di hampir semua pasar di Ibu Kota, pedagang berjualan di badan jalan. Dan, keadaan itu diperparah dengan banyaknya kendaraan umum yang menunggu penumpang (ngetem) di sana. Bahkan, di beberapa pasar, badan jalan digunakan sebagai terminal bayangan. Sebagai akibat, lalu lintas di tempat-tempat seperti itu praktis lumpuh. Diperlukan waktu sekitar 30 menit untuk keluar dari ruas jalan yang panjangnya tidak sampai 1 kilometer.
Buruknya disiplin dalam berlalu lintas juga tampak apabila ada kemacetan. Kesabaran untuk mengantre itu sama sekali tidak ada sehingga ruas jalan yang seharusnya digunakan untuk dua lajur dibuat menjadi tiga lajur sehingga deretan mobil yang berjajar itu sangat dekat dan tidak dapat dilalui oleh sepeda motor.
Di negara lain, yang lalu lintasnya juga macet, seperti China dan Thailand, keadaan seperti itu tidak terjadi. Pada ruas jalan dua lajur, dalam keadaan macet parah pun, pengendara mobil tetap menggunakan dua lajur sehingga sepeda motor tetap bisa lewat di antara deretan mobil yang berjajar. Pertanyaannya, mengapa orang-orang di negara ini malas mengantre?
Bertindak semau-maunya
Itu belum semuanya. Mobil pribadi membelok padahal di tempat itu ada rambu dilarang membelok, berhenti di tempat di mana ada rambu dilarang berhenti, atau parkir di mana ada rambu dilarang parkir. Sepeda motor lebih parah, menyeberang di jembatan penyeberangan, melaju melawan arah di ruas jalan searah, melaju di trotoar, atau menyerobot saat lampu lalu lintas merah.
Dengan alasan harus mengejar setoran, kendaraan umum bertindak semau-maunya. Mulai dari tidak mau mengantre saat terjadi kemacetan (ulah kendaraan umum ini banyak ditiru kendaraan pribadi), ngetem di simpul-simpul perempatan, termasuk membuat terminal bayangan. Bahkan, bus-bus antarkota dan antarprovinsi pun membuat terminal bayangan di wilayah Pondok Indah menjelang pintu tol TB Simatupang.
Repotnya, aliran lalu lintas di Ibu Kota sangat padat sehingga hambatan sedikit saja, misalnya ada satu saja mobil yang berhenti di sisi kiri jalan, akan berbuntut antrean yang sangat panjang. Apalagi jika kendaraan umum yang ngetem berlapis, atau menyita dua lajur jalan, di simpul-simpul perempatan.
Persoalannya, bagaimana menghilangkan hambatan terhadap aliran lalu lintas itu? Baik itu mobil-mobil yang parkir di depan gedung pemerintah, sekolah, maupun angkutan umum yang ngetem di mulut terminal, di pasar, dan di simpul-simpul jalan lain, terutama di perempatan jalan. Atau pertanyaan yang lebih mendasar, siapa yang harus turun tangan untuk membenahi kesemrawutan itu? Secara mudah kita menyebutkan bahwa itu adalah tugas polisi. Lalu, pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa polisi tidak dapat membenahi kesemrawutan itu? Inilah yang sulit untuk dijawab. Kadang terlihat personel polisi mencoba memperlancar aliran lalu lintas yang tertahan. Namun, kendaraan umum yang ngetem di sekitarnya didiamkan saja.
Kemacetan di Pasar Ciputat, di pinggiran selatan Jakarta, bisa dijadikan salah satu contoh bahwa aparat tidak dapat, atau bahkan mungkin tidak ingin, mengurai kemacetan di kawasan itu. Apa pun alasannya. Persoalannya, kemacetan di kawasan itu sudah ada sejak 1970-an. Dan, kini, 39 tahun sesudahnya kemacetan di kawasan itu tidak berkurang, bahkan lebih hebat. Pembuatan jalan layang di kawasan itu justru mempertegas fungsi Pasar Ciputat sebagai terminal liar dan pusat pedagang kaki lima.
Kalau sudah begini, siapa yang harus disalahkan?
Sangat beragam
Penyebab kemacetan lalu lintas di Ibu Kota sangat beragam. Mulai dari angkutan umum yang tidak disiplin (ngetem di sembarang tempat dan tidak mau mengantre dengan alasan mengejar setoran), penumpang angkutan umum yang tidak disiplin (menghentikan kendaraan umum di sembarang tempat), pengendara sepeda motor yang tidak disiplin, pengendara mobil pribadi yang tidak disiplin (tidak mematuhi tanda dan rambu lalu lintas), pejalan kaki yang tidak disiplin (menyeberang sembarangan, enggan menggunakan jembatan penyeberangan), pedagang kaki lima yang tidak disiplin (berdagang di badan jalan), sampai sikap pengemudi kendaraan bermotor yang mau menangnya sendiri.
Itu sebabnya, tidak berlebihan jika disebutkan oleh judul tulisan ini, mengurai kemacetan lalu lintas itu bagai menegakkan benang basah. (JL)
Artikel dimuat di harian Kompas, 16 Oktober 2009, halaman 37
Keinginan untuk mengurai kemacetan itu bukan tidak ada, tetapi tidak ada yang tahu dari mana harus memulainya. Persoalannya, macet di Jakarta itu bukan hanya karena pertambahan jumlah kendaraan bermotor tidak seimbang dengan pertambahan panjang ruas jalan, tetapi ada banyak faktor lain yang tumpang tindih.
Memang jumlah pertambahan kendaraan bermotor itu berlangsung seperti deret ukur, sedangkan pertambahan panjang ruas jalan berlangsung seperti deret hitung, tetapi itu bukan satu-satunya penyebab terjadinya kemacetan di Jakarta. Masih ada faktor lain, yakni semrawutnya tata kota, rendahnya disiplin berlalu lintas, serta belum baiknya manajemen lalu lintas.
Di beberapa negara lain, jumlah kendaraan bermotor di jalan dikurangi dengan menyediakan transportasi umum massal yang nyaman dan aman, termasuk kereta bawah tanah. Di negara ini, transportasi umum dilayani oleh angkutan umum minibus, mikrobus, dan bus yang hanya dapat memuat penumpang 13-80 orang per unit. Dan, transportasi umum di Jakarta dan sekitarnya itu jauh dari nyaman dan aman sehingga pengendara dan penumpang mobil pribadi enggan menggunakannya.
Belum lagi besarnya total ongkos yang harus dikeluarkan seseorang untuk melakukan perjalanan dari rumah ke kantor dan sebaliknya, membuat banyak orang yang memilih menggunakan sepeda motor. Bagi seseorang yang tinggal di pinggiran Jakarta, untuk melakukan perjalanan ke kantor dan kembali ke rumah dengan transportasi umum, ia memerlukan sedikitnya Rp 20.000. Belum lagi waktu tempuhnya. Dengan menggunakan sepeda motor, uang Rp 20.000 itu dapat digunakan minimum untuk 1 minggu dan waktu tempuhnya jauh lebih singkat.
Semrawutnya tata kota itu dapat dilihat dari banyaknya gedung pemerintah, kantor, toko, sekolah, rumah ibadah, atau pasar yang tidak memiliki lahan parkir sehingga kendaraan-kendaraan menggunakan badan jalan sebagai tempat parkir. Akibatnya, aliran lalu lintas yang melalui tempat-tempat itu tersendat dan sebagai buntutnya terjadi kemacetan.
Bukan itu saja, di hampir semua pasar di Ibu Kota, pedagang berjualan di badan jalan. Dan, keadaan itu diperparah dengan banyaknya kendaraan umum yang menunggu penumpang (ngetem) di sana. Bahkan, di beberapa pasar, badan jalan digunakan sebagai terminal bayangan. Sebagai akibat, lalu lintas di tempat-tempat seperti itu praktis lumpuh. Diperlukan waktu sekitar 30 menit untuk keluar dari ruas jalan yang panjangnya tidak sampai 1 kilometer.
Buruknya disiplin dalam berlalu lintas juga tampak apabila ada kemacetan. Kesabaran untuk mengantre itu sama sekali tidak ada sehingga ruas jalan yang seharusnya digunakan untuk dua lajur dibuat menjadi tiga lajur sehingga deretan mobil yang berjajar itu sangat dekat dan tidak dapat dilalui oleh sepeda motor.
Di negara lain, yang lalu lintasnya juga macet, seperti China dan Thailand, keadaan seperti itu tidak terjadi. Pada ruas jalan dua lajur, dalam keadaan macet parah pun, pengendara mobil tetap menggunakan dua lajur sehingga sepeda motor tetap bisa lewat di antara deretan mobil yang berjajar. Pertanyaannya, mengapa orang-orang di negara ini malas mengantre?
Bertindak semau-maunya
Itu belum semuanya. Mobil pribadi membelok padahal di tempat itu ada rambu dilarang membelok, berhenti di tempat di mana ada rambu dilarang berhenti, atau parkir di mana ada rambu dilarang parkir. Sepeda motor lebih parah, menyeberang di jembatan penyeberangan, melaju melawan arah di ruas jalan searah, melaju di trotoar, atau menyerobot saat lampu lalu lintas merah.
Dengan alasan harus mengejar setoran, kendaraan umum bertindak semau-maunya. Mulai dari tidak mau mengantre saat terjadi kemacetan (ulah kendaraan umum ini banyak ditiru kendaraan pribadi), ngetem di simpul-simpul perempatan, termasuk membuat terminal bayangan. Bahkan, bus-bus antarkota dan antarprovinsi pun membuat terminal bayangan di wilayah Pondok Indah menjelang pintu tol TB Simatupang.
Repotnya, aliran lalu lintas di Ibu Kota sangat padat sehingga hambatan sedikit saja, misalnya ada satu saja mobil yang berhenti di sisi kiri jalan, akan berbuntut antrean yang sangat panjang. Apalagi jika kendaraan umum yang ngetem berlapis, atau menyita dua lajur jalan, di simpul-simpul perempatan.
Persoalannya, bagaimana menghilangkan hambatan terhadap aliran lalu lintas itu? Baik itu mobil-mobil yang parkir di depan gedung pemerintah, sekolah, maupun angkutan umum yang ngetem di mulut terminal, di pasar, dan di simpul-simpul jalan lain, terutama di perempatan jalan. Atau pertanyaan yang lebih mendasar, siapa yang harus turun tangan untuk membenahi kesemrawutan itu? Secara mudah kita menyebutkan bahwa itu adalah tugas polisi. Lalu, pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa polisi tidak dapat membenahi kesemrawutan itu? Inilah yang sulit untuk dijawab. Kadang terlihat personel polisi mencoba memperlancar aliran lalu lintas yang tertahan. Namun, kendaraan umum yang ngetem di sekitarnya didiamkan saja.
Kemacetan di Pasar Ciputat, di pinggiran selatan Jakarta, bisa dijadikan salah satu contoh bahwa aparat tidak dapat, atau bahkan mungkin tidak ingin, mengurai kemacetan di kawasan itu. Apa pun alasannya. Persoalannya, kemacetan di kawasan itu sudah ada sejak 1970-an. Dan, kini, 39 tahun sesudahnya kemacetan di kawasan itu tidak berkurang, bahkan lebih hebat. Pembuatan jalan layang di kawasan itu justru mempertegas fungsi Pasar Ciputat sebagai terminal liar dan pusat pedagang kaki lima.
Kalau sudah begini, siapa yang harus disalahkan?
Sangat beragam
Penyebab kemacetan lalu lintas di Ibu Kota sangat beragam. Mulai dari angkutan umum yang tidak disiplin (ngetem di sembarang tempat dan tidak mau mengantre dengan alasan mengejar setoran), penumpang angkutan umum yang tidak disiplin (menghentikan kendaraan umum di sembarang tempat), pengendara sepeda motor yang tidak disiplin, pengendara mobil pribadi yang tidak disiplin (tidak mematuhi tanda dan rambu lalu lintas), pejalan kaki yang tidak disiplin (menyeberang sembarangan, enggan menggunakan jembatan penyeberangan), pedagang kaki lima yang tidak disiplin (berdagang di badan jalan), sampai sikap pengemudi kendaraan bermotor yang mau menangnya sendiri.
Itu sebabnya, tidak berlebihan jika disebutkan oleh judul tulisan ini, mengurai kemacetan lalu lintas itu bagai menegakkan benang basah. (JL)
Artikel dimuat di harian Kompas, 16 Oktober 2009, halaman 37
Label: Lalulintas
3 Komentar:
bagu infonya buat anak otomotif
Jakarta, Aktual.com — Permasalahan Ibukota Jakarta seperti kemacetan, kesemrautan, dan rendahnya kesadaran tertib lalu lintas masyarakat yang menyebabkan terjadinya kecelakaan merupakan pemadangan yang kerap terjadi. Tak hanya itu kondisi angkutan umum pun masih jauh dari harapan.
Ketua Presidium Indonesia Traffic Watch (ITW), Edison Siahaan mengatakan bahwa dengan kondisi dan keadaan tersebut namun pemerintah terkesan melakukan pembiaran.
“Anehnya, meskipun kemacetan lalu lintas sudah sangat serius, karena sudah menghambat aktivitas dan kreatifitas masyarakat, namun pemerintah sepertinya menjadikannya hal yang biasa,” katanya, Sabtu (8/8).
Lalu Lintas Jakarta ‘Semrawut’, ITW: Kinerja Pemprov DKI Tidak Maksimal
Saya ucapkan Terimakasih kepada pembuat artikel ini, artikel ini sangat bermanfaat dan tentu saja
berisi informasi yang sangat bermanfaat untuk semua pembaca di blog ini. Update terus dan tetap semangat gan.
Sukses selalu untuk Anda kunjungi web kami untuk menambah ilmu Bandar Judi dan Casino Online Terpercaya
Di Indonesia WWW.SALAMPOKER.COM Terima kasih
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda