Selasa, 04 November 2008

Sejarah Itu bukan Sekadar Angka-angka

Pameran Mobil Klasik Internasional Otoblitz (OICC) yang diselenggarakan di Balai Kartini, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, 22-24 Agustus 2008, sangat menarik. Untuk pertama kalinya, pameran mobil klasik yang diadakan setiap tahun itu juga melibatkan sepeda motor. Bagaimanapun sepeda motor hadir di negara ini, satu tahun sebelum kehadiran mobil.




Dengan demikian, sepeda motor merupakan kendaraan bermotor pertama yang lalu lalang di ruas-ruas jalan di negara ini, yang pada masa itu berada di bawah pendudukan Belanda, dan masih bernama Hindia Belanda (Nederlands Indie).

Sepeda motor pertama itu tiba dengan kapal laut di pelabuhan Semarang, Jawa Tengah, pada tahun 1893. Sepeda motor itu dipesan oleh John C Potter, Masinis Pertama Pabrik Gula Oemboel (Umbul) di Probolinggo, Jawa Timur, langsung ke pabriknya, Hildebrand und Wolfmüller, di Muenchen, Jerman. Sepanjang tahun 1893, John C Potter yang berkebangsaan Inggris itu adalah satu-satunya orang yang mengendarai kendaraan bermotor di negara ini.



Sedangkan mobil yang pertama di negara ini, yakni sebuah Benz, baru tiba pada tahun 1894. Mobil itu dipesan oleh Soesoehoenan Solo Paku Buwono X melalui toko kelontong Prottel & Co yang berlokasi di Passer Besar, Surabaya.

Yang menarik adalah di belakang sepeda motor dan mobil yang dipajang, dibentangkan backdrop yang menampilkan foto-foto dari sepeda motor pada masanya.

Backdrop seperti itu sangat penting untuk menggambarkan kehidupan masyarakat pada masa sepeda motor dan mobil-mobil itu lalu lalang di ruas-ruas jalan di negara ini. Mengingat, keberadaan sepeda motor dan mobil-mobil klasik itu tidak sekadar mewakili angka-angka tahun saja, tetapi juga mewakili kehidupan masyarakat pada masa kendaraan itu digunakan untuk beraktivitas sehari-hari.

Dan, penting untuk diingat bahwa angka-angka tahun itu juga mewakili rentang waktu tertentu, di mana kehidupan masyarakatnya pun sudah jauh berubah.



Foto: 1912: Warga Deli berpose dengan Fiat
di Tanjung Morawa, 13,5 kilometer
di tenggara Medan

Seringkali orang menyamakan kehidupan masyarakat pada tahun 1808-1811 dengan kehidupan masyarakat tahun 1860-an. Membandingkan kehidupan masyarakat pada masa Gubernur Jenderal Herman William Daendels (1808-1811) dengan kehidupan masyarakat pada tahun 1860 yang dituangkan Multatuli, nama samaran Douwes Dekker, dalam buku Max Havelaar dengan Saijah dan Adinda sebagai tokohnya, agak aneh dan tidak seharusnya terjadi.

Karena walaupun sama-sama masih bertahun 1800-an, tetapi rentang waktu antara tahun 1808 sampai 1860 itu terpaut lebih dari 50 tahun. Dan, dalam kehidupan 50 tahun itu adalah masa yang cukup lama, dalam rentang waktu setengah abad itu banyak sekali hal yang dapat terjadi.

Bayangkan, kehidupan masyarakat pada tahun 1965 dengan tahun 2008, yang terpaut 43 tahun saja keadaannya sudah sangat jauh berbeda, apalagi masih ditambah 7 tahun lagi. Sulit untuk dibayangkan.



Mudah melupakan sejarah

Ingatan orang-orang Indonesia sangat pendek sehingga mudah melupakan sejarah. Sejarah hanya dilihat sebagai angka-angka tahun, dan dilepaskan dari konteks sejarahnya.

Contoh terbaru adalah niatan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengganti keistimewaan Yogyakarta sebagaimana yang ditetapkan dulu, dengan keistimewaan baru yang sama sekali berbeda.

Pemerintah Yudhoyono lupa bahwa pada Kesultanan Yogyakarta ada lebih dahulu dibandingkan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dan, dalam Amanat 5 September 1945 yang dikeluarkan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII disebutkan, Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman menggabungkan diri ke dalam NKRI dengan status daerah istimewa yang memiliki kekuasaan penuh untuk mengatur wilayahnya.

Amanat itu dijawab Presiden Soekarno dengan menyerahkan Piagam Kedudukan kepada HB IX dan PA VIII sebagai tanda persetujuannya pada 6 September 1945 (tertanggal 19 Agustus 1945). Hal itu juga tercantum dalam Pasal 18 UUD 1945, sebelum perubahan, yang menyatakan, negara menghormati daerah yang memiliki status istimewa.



Dengan tetap dipeliharanya sepeda motor dan mobil klasik, dalam kondisi seperti aslinya, orang dapat membandingkan teknologi yang digunakan dan kehidupan masyarakat pada masa sepeda motor atau mobil itu digunakan dalam kehidupan sehari-hari, dan, dengan demikian, diharapkan generasi penerus tidak melihat sejarah sebagai angka-angka tahun saja, yang dilepaskan dari konteks sejarahnya.(JL)


Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda