Rabu, 21 Mei 2008

CNG Perlu Digalakkan



Semakin tingginya tingkat pencemaran udara dan semakin tingginya harga bahan bakar minyak (BBM) membuat semakin banyak orang yang melirik bahan bakar alternatif, antara lain bahan bakar gas jenis CNG (compressed natural gas) atau gas alam yang dikompresi. Sesungguhnya bahan bakar gas (BBG) bukanlah barang baru di negara ini.

Pencanangan untuk menggunakan BBG yang harganya lebih murah dan lebih bersih lingkungan daripada bahan bakar minyak (BBM) sudah
dilakukan sejak tahun 1986. Pada saat itu ditetapkan bahwa 20 persen dari armada taksi harus memakai CNG. Namun, karena pada saat itu harga BBM masih dianggap terjangkau dan stasiun pengisian BBM terdapat di mana-mana, maka minat untuk menggunakan BBG tidak sempat membesar.



Di Jakarta, pengguna BBG umumnya taksi. Di luar itu masih ada
sejumlah mobil pribadi, dan akhir-akhir ini bajaj baru dan bus
transjakarta rute 2 dan rute 3. Padahal di luar negeri, antara lain
Thailand, India, dan Australia penggunaan CNG sudah meluas.
Keberadaan stasiun pengisian BBG (SPBG) tidak banyak, selain
pengguna BBG memang belum banyak, juga karena kehadiran SPBG
mengikuti jaringan pipa gas milik PT Perusahaan Gas Negara. CNG
disalurkan melalui jaringan pipa karena CNG tidak dapat
ditransportasikan.

CNG berbeda dengan LPG (liquefied petroleum gas) dan LNG
(liquefied natural gas) yang bisa ditransportasikan. Namun, karena
harga CNG lebih murah daripada LPG dan LNG, maka CNG-lah yang dipilih
sebagai BBG alternatif.

Saat ini di Jakarta hanya terdapat 14 SPBG, tetapi yang berfungsi
tak lebih dari enam SPBG. Untuk mendorong penggunaan CNG, Gubernur
DKI Jakarta Sutiyoso mengharuskan bus transjakarta yang melayani rute
2, rute 3, dan rute selanjutnya untuk menggunakan CNG. Dan, Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono, 21 Mei 2006, saat mencanangkan
pemasyarakatan BBG pada kendaraan bermotor di SPBG bus transjakarta
di Jalan Perintis Kemerdekaan, Jakarta Timur, mengemukakan,
pemerintah segera mempercepat pembangunan stasiun pengisian CNG dan
infrastruktur lainnya untuk mengganti penggunaan BBM dengan BBG.

Idealnya, tekanan pada jaringan pipa gas adalah 11 bar, dan agar
pengisian CNG bisa berlangsung dengan cepat, diperlukan tekanan
sebesar 200 bar, atau 2.901 psi, atau 197 atm, 197 kali tekanan udara
biasa. Dengan tekanan sebesar 200 bar, pengisian CNG setara 130 liter
premium dalam waktu 3-4 menit.

Selama ini, tekanan pada jalur pipa gas hanya 2 bar sehingga
kompresor pada stasiun pengisian CNG harus bekerja keras untuk
mengubah tekanan sampai 200 bar. Jika tekanan tak sampai 200 bar,
pengisian CNG ke dalam tangki CNG di kendaraan bermotor akan
berlangsung lama.

Perlu berhati-hati
Dengan tekanan sebesar 200 bar, tentunya penanganan CNG perlu
dilakukan secara hati-hati. Antara lain dengan menggunakan tangki gas
yang memenuhi persyaratan dan dipasang di bengkel yang direkomendasi.
John C Hartley, penasihat teknis PT Petross Gas, mengatakan,
tangki CNG dibuat dengan menggunakan bahan-bahan khusus yang mampu
membawa CNG dengan aman.


Sama sekali tidak diperkenankan untuk
memodifikasi tangki tersebut. Jika dianggap tangki yang dibeli
volumenya terlalu kecil, lebih baik membeli tangki yang volumenya
lebih besar daripada memodifikasinya sendiri. Sama sekali tidak
diperkenankan untuk memodifikasi tangki tersebut. Jika dilakukan,
daya tahan tangki tersebut terhadap tekanan tinggi menjadi tidak
terukur.

PT Petross Gas adalah agen distributor tunggal Converter Kit BBG,
yang agen tunggal pemegang mereknya adalah PT Hyundai Indonesia Motor.
Untuk kendaraan penumpang, pemeriksaan tabung dilakukan satu
tahun sekali, sedangkan untuk kendaraan umum dua kali setahun. Jika
dianggap masih layak pakai, penggunaannya bisa diperpanjang. Dan,
jika tangki CNG diperiksa secara berkala, tidak ada yang perlu
dikhawatirkan.


Menurut Presiden Direktur PT Hyundai Indonesia Motor Jongkie D Sugiarto, mengingat kemampuan untuk memelihara pada diri setiap individu bangsa Indonesia sangat rendah, maka akan dicarikan cara agar keamanan tabung tetap terjaga. Antara lain dengan meminta pengendara yang ingin mengisi CNG menunjukkan sertifikat bahwa tangki CNG yang berada di mobilnya telah diperiksa dan dinyatakan aman.

Pemasangan kit CNG memerlukan biaya Rp 11 juta, termasuk PPN. Selintas biaya itu terlihat mahal, tetapi sesungguhnya jika
dibandingkan dengan penghematan yang didapat dari penggunaan CNG, biaya itu bisa dibilang tidak mahal.

Sebuah taksi setiap hari mengeluarkan uang untuk membeli 30 liter premium seharga Rp 4.500 per liter, atau Rp 135.000. Jika taksi itu menggunakan CNG, uang yang dikeluarkan hanya Rp 90.000 untuk membeli CNG setara 30 liter premium. Harga CNG setara 1 liter premium Rp 3.000. Jika setiap hari taksi itu menghemat sebanyak Rp 45.000, dalam waktu satu setengah tahun biaya yang dikeluarkan untuk pemasangan kit CNG itu sudah tertutup.

Masih terbatasnya ketersediaan SPBG membuat sejumlah pengguna
CNG, terutama mobil pribadi, memilih untuk menggunakan dua bahan
bakar, CNG dan premium. Dengan demikian, jika CNG di tangki tinggal
sedikit sementara SPBG masih jauh, pengendara tinggal memindahkan
tombol ke penggunaan premium. Namun, tentunya ketersediaan premium di
tangki harus dibatasi (jangan terlalu banyak). Jika terlalu banyak,
beban yang ditanggung mobil semakin besar dan tentunya itu berakibat
pada tarikan yang menjadi lamban dan pemborosan bahan bakar.

Selain ekonomis, CNG juga lebih bersih lingkungan ketimbang BBM,
yakni premium dan solar. Apalagi jika dibandingkan dengan bahan bakar
solar yang saat ini kualitasnya masih sangat jauh di bawah kualitas
solar bersih, yang dijual dengan nama Pertamina Dex. Bayangkan berapa
besar pencemaran udara yang diakibatkan ribuan bus, truk, dan mobil
pribadi yang setiap hari lalu lalang di ruas-ruas jalan Jakarta dan
sekitarnya dengan menggunakan bahan bakar solar. (JL)



Artikel ini dimuat di harian Kompas, 26 Mei 2006, halaman 33

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda